Sejarah SMAN 3 Jombang

Di tengah kerindangan dan kesejukan yang terpancar dari aura SMA Negeri 3 Jombang, terdapat sejarah yang tidak bisa hilang.

SMA Negeri 3 Jombang sebenarnya bukanlah sekolah yang muda usia. Sekolah dengan slogan BASTYASAKA (Bareksa Satya Basari Jatmika) ini merupakan sekolah yang telah berdiri sejak zaman penjajahan Belanda. Tidak ada dokumentasi resmi mengenai berdirinya sekolah ini di era kolonial Belanda, namun diperkirakan sekolah ini didirikan sekitar tahun 1918 sebagai sekolah HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Menurut Wikipedia Indonesia, 2013, HIS adalah sekolah rendah setingkat pendidikan dasar ( SD ) saat ini di era kolonial Belanda yang menggunakan bahasa lokal Hindia Belanda ( cikal bakal bahasa Indonesia ). Sejak 1870 sampai dengan masa itu ( tahun 1918 ), Pemerintah Belanda memberlakukan Politik Etis. Pada saat pelantikan Ratu Wilhelmina, 17 September 1901, Pemerintah Hindia Belanda memperoleh tugas untuk mempertegas pelaksanaan politik etis di koloninya ini. Salah satu perwujudan penegasan pelaksanaan politik etis pasca pelantikan Ratu Wilhelmina ini adalah dengan pengembangan HIS di Hindia Belanda, termasuk HIS Jombang.

HIS Jombang dibangun di atas areal yang cukup luas, termasuk diberikan sebidang tanah lapang dengan luas mendekati alun-alun yang berbentuk bundar sehingga di kalangan pribumi Jombang saat itu kawasan ini dikenal sebagai alun-alun bundar. HIS saat itu dibangun Pemerintah Hindia Belanda di kota keresidenan (di atas kabupaten di bawah provinsi), kabupaten, kota praja (kota madya atau kota di zaman sekarang), atau di kota pusat perdagangan. HIS Jombang sebagaimana HIS di kota lainnya diperuntukkan bagi golongan penduduk keturunan Indonesia asli, sehingga disebut juga Sekolah Bumiputera Belanda. HIS disediakan untuk anak-anak dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, atau pegawai negeri. Lama pendidikan HIS adalah 7 tahun. Pemerintah Hindia Belanda juga memberikan nama untuk lapangan bundar di HIS Jombang ini yaitu Normal School. Nama HIS Jombang tetap bertahan hingga tahun 1942 menjelang invasi Jepang ke Indonesia.

Tahun 1942 pasca invasi Jepang ke Indonesia, Jepang menjalankan kebijakannya dengan prioritas utama untuk keperluan perang dan keperluan militer. Bangunan sekolah juga dimanfaatkan untuk keperluan perang sebagai tangsi, barak militer, ataupun rumah sakit militer. Di masa penjajahan Jepang, HIS Jombang dihapuskan dan bangunannya ditempati untuk keperluan rumah sakit militer Jepang. Mengingat perlunya memberikan fasilitas memadai sebagai rumas sakit militer, di bangunan bekas HIS Jombang ini juga dibangun lorong-lorong yang menghubungkan antar bangunan sebagaimana bangunan rumah sakit pada umumnya. Di akhir perang dunia II, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu dan seluruh fasilitas militer maupun sipil pendudukan Jepang dikuasai oleh Pemerintah RI yang baru berdiri setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Balatentara Jepang sebelum menyerah sempat membumi hanguskan rumah sakit militer yang menempati gedung bekas HIS Jombang. Bangunan ini akhirnya bisa diselamatkan oleh tentara republik dan berhasil diperbaiki kembali. Setelah mengalami perbaikan yang memadai, fasilitas bekas rumah sakit militer Jepang ini akhirnya difungsikan oleh Pemerintah RI sebagai gedung SGB ( Sekolah Guru Besar ) Jombang sampai pengakuan kedaulatan pada tahun 1949. Dikarenakan suatu hal, menjelang tahun 1950-an, SGB Jombang dipindahkan ke Kota Nganjuk.

Tahun 1973, Bupati Jombang saat itu, Bapak Kolonel Polisi ( sekarang Komisaris Besar Polisi ) Ismail ( masa bakti 1966 – 1973 ) mempunyai rencana pengembangan sekolah model terpadu. Sekolah terpadu ini disediakan areal yang cukup luas dan merupakan penggabungan dari eks lokasi SMEA Negeri Jombang, SMEP, SMP Sore dan SMP Negeri 1 Jombang yang telah berpindah ke lokasi tersendiri. Universitas 17 Agustus dan Universitas Kosgoro akhirnya juga memindahkan lokasi kampusnya dari kompleks ini. Ditambah dengan sebuah lapangan sepak bola di sisi barat, Bupati Ismail akhirnya meresmikan sekolah model ini dengan SPG sebagai sekolah pengelola inti yang dilengkapi asrama dan lokasi pengembangan yang cukup luas hingga mencapai 5,4 hektar.

SPG Negeri Jombang menjalankan fungsinya sebagai sekolah pencetak tenaga guru di kawasan Jombang dan sekitarnya di era tahun 1980-an. Di masa ini pula, sekolah dasar laboratorium SPG Negeri Jombang dinegerikan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjadi SD Negeri Jombatan I. Meskipun berstatus SD negeri, SDN Jombatan I tetap menempati lahan atas nama SPG Negeri Jombang di sebelah timur sampai sekarang. Tahun 1988, SPG Negeri Jombang menyatakan tidak lagi menerima siswa baru mengingat adanya rencana konversi SPG Negeri Jombang menjadi sekolah menengah atas. Tahun 1991, berdasarkan SK Nomor 0519/0 1991 tertanggal 5 September 1991, SPG Negeri Jombang secara resmi dikonversi menjadi SMA Negeri 3 Jombang. Pada tanggal 17 September 1991, SMA Negeri 3 Jombang secara resmi dibuka sebagai sebuah sekolah menengah atas. Tanggal 17 September 1991 inilah yang kemudian dinyatakan sebagai hari jadi SMA Negeri 3 Jombang.

Mewarisi seluruh areal eks SPG Negeri Jombang, SMA Negeri 3 Jombang memiliki areal yang sangat luas dam asrama siswa dan guru yang sangat memadai. Peluang ini dibaca oleh Bapak Drs. Suwadji selaku Kepala SMA Negeri 3 Jombang ( menjabat antara tahun 1995 – 2000 ) untuk menjadikan sekolah ini juga sebagai pusat lokasi pendidikan dan pelatihan guru di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan se-wilayah Indonesia Timur sampai dengan tahun 1999. Seiring bergulirnya kebijakan otonomi daerah yang diberlakukan sejak tahun 2001, status kepemilikan SMA Negeri 3 Jombang diserahkan pemerintah pusat dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kepada Pemerintah Kabupaten Jombang hingga saat ini.

Tanggal 17 September 1991 inilah yang kemudian dinyatakan sebagai hari jadi SMA Negeri 3 Jombang.

SEJARAH SMAN 3 JOMBANG

Di tengah kerindangan dan kesejukan yang terpancar dari aura SMA Negeri 3 Jombang, terdapat sejarah yang tidak bisa hilang.

SMA Negeri 3 Jombang sebenarnya bukanlah sekolah yang muda usia. Sekolah dengan slogan BASTYASAKA (Bareksa Satya Basari Jatmika) ini merupakan sekolah yang telah berdiri sejak zaman penjajahan Belanda. Tidak ada dokumentasi resmi mengenai berdirinya sekolah ini di era kolonial Belanda, namun diperkirakan sekolah ini didirikan sekitar tahun 1918 sebagai sekolah HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Menurut Wikipedia Indonesia, 2013, HIS adalah sekolah rendah setingkat pendidikan dasar ( SD ) saat ini di era kolonial Belanda yang menggunakan bahasa lokal Hindia Belanda ( cikal bakal bahasa Indonesia ). Sejak 1870 sampai dengan masa itu ( tahun 1918 ), Pemerintah Belanda memberlakukan Politik Etis. Pada saat pelantikan Ratu Wilhelmina, 17 September 1901, Pemerintah Hindia Belanda memperoleh tugas untuk mempertegas pelaksanaan politik etis di koloninya ini. Salah satu perwujudan penegasan pelaksanaan politik etis pasca pelantikan Ratu Wilhelmina ini adalah dengan pengembangan HIS di Hindia Belanda, termasuk HIS Jombang.

HIS Jombang dibangun di atas areal yang cukup luas, termasuk diberikan sebidang tanah lapang dengan luas mendekati alun-alun yang berbentuk bundar sehingga di kalangan pribumi Jombang saat itu kawasan ini dikenal sebagai alun-alun bundar. HIS saat itu dibangun Pemerintah Hindia Belanda di kota keresidenan (di atas kabupaten di bawah provinsi), kabupaten, kota praja (kota madya atau kota di zaman sekarang), atau di kota pusat perdagangan. HIS Jombang sebagaimana HIS di kota lainnya diperuntukkan bagi golongan penduduk keturunan Indonesia asli, sehingga disebut juga Sekolah Bumiputera Belanda. HIS disediakan untuk anak-anak dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, atau pegawai negeri. Lama pendidikan HIS adalah 7 tahun. Pemerintah Hindia Belanda juga memberikan nama untuk lapangan bundar di HIS Jombang ini yaitu Normal School. Nama HIS Jombang tetap bertahan hingga tahun 1942 menjelang invasi Jepang ke Indonesia.

Tahun 1942 pasca invasi Jepang ke Indonesia, Jepang menjalankan kebijakannya dengan prioritas utama untuk keperluan perang dan keperluan militer. Bangunan sekolah juga dimanfaatkan untuk keperluan perang sebagai tangsi, barak militer, ataupun rumah sakit militer. Di masa penjajahan Jepang, HIS Jombang dihapuskan dan bangunannya ditempati untuk keperluan rumah sakit militer Jepang. Mengingat perlunya memberikan fasilitas memadai sebagai rumas sakit militer, di bangunan bekas HIS Jombang ini juga dibangun lorong-lorong yang menghubungkan antar bangunan sebagaimana bangunan rumah sakit pada umumnya. Di akhir perang dunia II, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu dan seluruh fasilitas militer maupun sipil pendudukan Jepang dikuasai oleh Pemerintah RI yang baru berdiri setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Balatentara Jepang sebelum menyerah sempat membumi hanguskan rumah sakit militer yang menempati gedung bekas HIS Jombang. Bangunan ini akhirnya bisa diselamatkan oleh tentara republik dan berhasil diperbaiki kembali. Setelah mengalami perbaikan yang memadai, fasilitas bekas rumah sakit militer Jepang ini akhirnya difungsikan oleh Pemerintah RI sebagai gedung SGB ( Sekolah Guru Besar ) Jombang sampai pengakuan kedaulatan pada tahun 1949. Dikarenakan suatu hal, menjelang tahun 1950-an, SGB Jombang dipindahkan ke Kota Nganjuk.

Tahun 1973, Bupati Jombang saat itu, Bapak Kolonel Polisi ( sekarang Komisaris Besar Polisi ) Ismail ( masa bakti 1966 – 1973 ) mempunyai rencana pengembangan sekolah model terpadu. Sekolah terpadu ini disediakan areal yang cukup luas dan merupakan penggabungan dari eks lokasi SMEA Negeri Jombang, SMEP, SMP Sore dan SMP Negeri 1 Jombang yang telah berpindah ke lokasi tersendiri. Universitas 17 Agustus dan Universitas Kosgoro akhirnya juga memindahkan lokasi kampusnya dari kompleks ini. Ditambah dengan sebuah lapangan sepak bola di sisi barat, Bupati Ismail akhirnya meresmikan sekolah model ini dengan SPG sebagai sekolah pengelola inti yang dilengkapi asrama dan lokasi pengembangan yang cukup luas hingga mencapai 5,4 hektar.

SPG Negeri Jombang menjalankan fungsinya sebagai sekolah pencetak tenaga guru di kawasan Jombang dan sekitarnya di era tahun 1980-an. Di masa ini pula, sekolah dasar laboratorium SPG Negeri Jombang dinegerikan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjadi SD Negeri Jombatan I. Meskipun berstatus SD negeri, SDN Jombatan I tetap menempati lahan atas nama SPG Negeri Jombang di sebelah timur sampai sekarang. Tahun 1988, SPG Negeri Jombang menyatakan tidak lagi menerima siswa baru mengingat adanya rencana konversi SPG Negeri Jombang menjadi sekolah menengah atas. Tahun 1991, berdasarkan SK Nomor 0519/0 1991 tertanggal 5 September 1991, SPG Negeri Jombang secara resmi dikonversi menjadi SMA Negeri 3 Jombang. Pada tanggal 17 September 1991, SMA Negeri 3 Jombang secara resmi dibuka sebagai sebuah sekolah menengah atas. Tanggal 17 September 1991 inilah yang kemudian dinyatakan sebagai hari jadi SMA Negeri 3 Jombang.

Mewarisi seluruh areal eks SPG Negeri Jombang, SMA Negeri 3 Jombang memiliki areal yang sangat luas dam asrama siswa dan guru yang sangat memadai. Peluang ini dibaca oleh Bapak Drs. Suwadji selaku Kepala SMA Negeri 3 Jombang ( menjabat antara tahun 1995 – 2000 ) untuk menjadikan sekolah ini juga sebagai pusat lokasi pendidikan dan pelatihan guru di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan se-wilayah Indonesia Timur sampai dengan tahun 1999. Seiring bergulirnya kebijakan otonomi daerah yang diberlakukan sejak tahun 2001, status kepemilikan SMA Negeri 3 Jombang diserahkan pemerintah pusat dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kepada Pemerintah Kabupaten Jombang hingga saat ini.

Tanggal 17 September 1991 inilah yang kemudian dinyatakan sebagai hari jadi SMA Negeri 3 Jombang.